Sabtu, 24 Maret 2018

Cerita hujan kala itu

     Akhir-akhir ini hujan sedang senang menghampiri Sekaran. Hal yang sering aku lakukan ketika itu adalah keluar kemudian duduk melihat hujan. Harum tanah yang basah mengingatkanku pada rumah. Suasananya mengingatkanku kala itu. Biasanya, saat hujan rumah menjadi sedikit gelap. Lampu rumah harus dinyalakan. Saat itu lantai rumahku masih semen hitam, tak kasar dan mengilap karena sering diinjak. Jika kau mendongak kearah atap rumahku saat hujan, maka kau akan merasakan serutan air hujan mendarat halus di wajahmu. Aku sering dan senang melakukannya. Suatu ketika Aku bertanya kepada Bapak, " bapak, apa nanti atap rumah kita tidak rapuh jika terus begini?" . Engkau menjawab "tidak, insyaAlloh tidak. Rumah ini bapak bangun dengan susah payah. Rumah ini pasti kokoh". Aku terdiam. "Nak kau tau? Tembok ini kenapa tidak semulus rumah teman-temanmu?". Tembok rumahku memang tak semulus rumah pada umummya, maksudku tidak rata. Jadi intinya permukaan tembok rumahku itu bergelombang. Lalu kujawab "heehe tidak pak.. Kenapa memang?". "Itu bapak yang membuat nak" jawabnya sambil tersenyum. Kubalas tersenyum menggoda " loh, bapak yang buat? Hehe kok bapak bisa?". Bapak tertawa lebar " Itu bapak modal nekat nak, dulu tukangnya sudah pergi. Dari pada manggil lagi, bapak nyoba sendiri. Itu kamu bisa bedakan mana yang buatan bapak." Aku tertawa keras " wkwkw ini semua berarti buatan bapak? Hanya ruang depan saja yang dibuat tukang?". " iya benar nak hehehe. Oh ya bapak jadi ingat dulu saat kita pindah kesini". " oh iya, ngomong-ngomong kenapa kita pindah kesini pak?". Bapakku menerawang " ah itu, di lingkungan yang dulu bapak merasa lingkungannya kurang baik buat kamu sama masmu. Trus ditawari tanah disini. Kita itu rumah pertama disini nak. Makanya gak ada tetangganya" "wkwkkw iya pak, kita gak ada tetangganya ya. Tapi enak, bisa triak-triak". Bapakku menanggapi " nah iya, bapak juga. Enak kalo mamakmu mau dangdutan nggak ada yang ngomel". "Wkwkkw iya ya pak .. Trus dulu gimana?". "Jadi, dulu waktu bapak bangun rumah ini, kamu masi TK. Tiap bapak kesini kamu pasti geger minta ikut. Padahal udah bapak marahi, udah bapak takut2i. Wong disini kan masih alas, masih banyak hewan liarnya. Tapi kamu tetep ikut. Naik ontel sama bapak. Kamu didepan pake boncengan yang warna biru itu" "ohh wkwkw iya kah pak? Trus gimana?" "Yaa sampe rumah ini jadi, trus belum ada lampu nak.. Kamu masi inget tiap sore kamu rebutan sama masmu nyalain lampu petromak?" "Ohhh iya pak, hahaha ingaat." " iyaa, kamu itu rusuh sama masmu. Selalu ngancurin abu bekas lampunya tapinnggak mau beresin" "hihihi kan masi kecil pak. Belum tau" " tiap maghrib ngaji bareng pake lampu petromak. Sering ngomel kalo masmu duluan yang ngajinya bapak simak." "Wkwk iya kan kenapa dulu aku mikirnya, kok mas duluan, harusekan yang kecil dulu" "hehe tapi nanti kalo besar kamu tau maksudnya bapak itu apa nak". Aku diam, asal jawab " heehe iya pak.. Nanti yaa" "intinya, nanti kalo sudah besar kamu akan tau betapa nyamannya rumah ini. Rumah yang bapak bangun susah payah tanpa hutang sana sini. Dari lantai tanah, hingga lantai hitam tanpa listrik sampai nanti entah perubaha apa lagi. Kamu harus ingat nak, bapak bukan orang sugih. Kita hidup berawal dari kesulitan. Bapak selalu wanti2 ke kamu sama mamasmu. Jadi anak yang sholeh-sholeha, priatin, diwelas asih dening Gusti Alloh, jadi anak yang berbakti, beruntung dan nurut sama orang tua nak". Hujan mulai berhenti, serutan es dari atap pun sudah mulai reda. " nah nak, besok kalau sudah besar kamu harus priatin. Namamu itu bapak mintakan dari kyai, dapatnya Farikha katanya artinya anak yang selalu bergembira. Tapi karena saat kamu lahir, bapak sedang dalam kondisi sangat priatin, makanya bapak tambahkan tin dibelakang jadinya farikhahtin, biar kamu jadi anak yang pandai priatin nak. Jadi anak yang selalu bergembira tapi priatin. Tapi karena bapak susah bilang ef, namamu selalu bapak panggil parikha, nggak papa ya nak hehe". Aku hanyut, saat itu aku masih belum tau perasaan apa itu namanya. Intinya, hatiku rasanya mengatakan wah, mataku berbinar dan bibirku ingin tersenyum. Harusnya waktu itu aku mengucapkan "ah bapak, aku benar2 beruntung jadi anakmu"'. Tapi tak ku ucakan. Aku hanya tersenyum dan disadarkan bapak " he nak, itu lantainya basah. Cepat ambil lap" . Cerita hujan kala itu berakhir dan menjadi awal aku tahu, siapa aku dan apa harapan orang tuaku.

0 komentar:

Posting Komentar